Nusantarachannel.co – Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban, adalah hari dimana umat Islam melakukan penyembelihan hewan kurban, baik itu unta, sapi mau kambing.
Hewan ternak yang dikurbankan, biasanya banyak menyisakan kulit hewan kurban. Jumlahnya bisa jadi sangat banyak, sehingga diperlukan siasat khusus untuk mengelola kepala dan kulit hewan kurban. Apakah kulit dan kepala hewan kurban itu dapat diperjualbelikan. Berikut ini penjelasannya.
Hukum menjual kepala dan kulit hewan kurban
Apa hukum menjual kepala dan kulit hewan kurban? Seseorang yang berkurban tidak diperbolehkan untuk menjual hewan kurbannya karena itu akan membatalkan pahalanya dalam berkurban.
Selain itu penerima kurban juga dilarang untuk menjual kepala maupun kulit hewan kurban. Ada pengecualian untuk orang fakir miskin. Hal itu karena sebenarnya menjual kepala dan kulit hewan kurban itu dilarang, bahkan tidak boleh juga dibagikan sebagai upah para penjagal.
Berdasarkan penjelasan HR Hakim dalam kitab Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, juz 6, halaman 121 yang tertera dalam laman islam.nu.or.id, “Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya, maka tidak ada kurban bagi dirinya. Artinya dia tidak mendapat pahala yang dijanjikan kepada orang yang berkurban atas pengorbanannya,”
Maka, apabila seseorang menjual kepala dan kulit hewan kurban, maka hewan kurban itu berubah menjadi hewan sembelihan biasa yang tidak bernilai pahala.
Hukum menjual kepala dan kulit hewan kurban pada fakir miskin
Berbeda hukum menjual kepala dan kulit hewan kurban oleh fakir miskin. Berdasarkan keterangan Habib Abdurrahman Ba’alawi, fakir miskin boleh menjual kepala dan kulit kurban. Dalilnya sebagai berikut:
“Bagi orang fakir boleh menggunakan (tasharruf) daging kurban yang ia terima meskipun untuk semisal menjualnya kepada pembeli, karena itu sudah menjadi miliknya atas barang yang ia terima. Berbeda dengan orang kaya. Ia tidak boleh melakukan semisal menjualnya, namun hanya boleh mentasharufkan pada daging yang telah dihadiahkan kepada dia untuk semacam dimakan, sedekah, sajian tamu meskipun kepada tamu orang kaya. Karena misinya, dia orang kaya mempunyai posisi seperti orang yang berkurban pada dirinya sendiri. Demikianlah yang dikatakan dalam kitab At-Tuhfah dan An-Nihayah. (Lihat Bughyatul Mustarsyidin, Darul Fikr, halaman 423).
Persoalan menjual kulit sudah muncul sejak zaman dahulu, sehingga Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan larangan dan ancaman yang keras,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Siapa yang menjual kulit hewan qurbannya, maka tidak ada qurban untuknya (tidak diterima).” (HR. Al-Hakim dan al-Baihaqi, dihassankan oleh Al-Albani dalam Shahih al-jami’, no. 6118)
Hal ini seolah menggambarkan, memberikan kulit kepada tukang jagal sebagai bayaran atau bagian dari bayaran sudah biasa sejak zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karenanya beliau melarang untuk memberikannya kepada tukang jagal sebagai bayaran. Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, berkata:
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan kepadaku untuk mengurus hewan qurbannya, dan agar aku menyedekahkan dagingnya, kulitnya, dan bulunya serta tidak memberikan kepada tukang jagal darinya.” (Muttafaq ‘alaih dengan lafadz milik Muslim)
Kemudian Ali berkata,
نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
“Kami memberinya upah dari harta kami.” (HR. Muslim)
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa berkah kurban yang meliputi daging, kulit, kepala dan tanduk, semuanya, tidak boleh dijual. Sehingga, hukum menjual kepala dan kulit hewan kurban adalah haram.
Sebab, apabila orang yang melaksanakan kurban menjual kulit dan kepala maka ia tidak mendapatkan pahala dari berkurban. Penerima kurban juga tidak boleh menjual daging, kulit, atau kepala kecuali fakir miskin.
Discussion about this post