Oleh Mahrus Andis
1. Kata Pembuka
Menebus ketidakhadiran saya pada forum diskusi sastra, Jumat 13 Januari 2023, di Makassar, saya merasa harus menulis esai ini. Awalnya saya diminta menjadi pembicara. Namun, kesibukan lain membuat saya tidak sanggup menerima amanah itu.
Buku berjudul “Gumpalan Ditegak Tulang Terhempas di Landasan Pulau”, sebuah Kumpulan Puisi ditulis oleh Andi Matahari Remmang Rilangi. Buku setebal 96 halaman dan berisi 80 lebih puisi itu diterbitkan oleh Garis Khatulistiwa Makassar, 2018.
Membaca judul dan nama penulisnya, kita sudah mampu menangkap bayangan bahwa puisi di buku tersebut adalah ekspresi sastra masa silam yang ditulis oleh penyair Bugis masa lampau.
Andi Matahari Remmang Rilangi, lahir di Pammana, Wajo,1936. Ia hidup diparuh awal zaman sastra Angkatan Pujangga Baru. Karena itu, puisi-puisinya di buku tersebut terasa sangat kental dengan gaya bahasa peralihan sastra lama ke ranah sastra modern.
Dipahami, seperti apa ittikad Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT) sehingga mau menggelar diskusi tentang buku puisi ini. Tentu bukan pada dimensi kreatifitas sastranya, melainkan lebih ke arah menghidupkan kembali ruh penulisan sastra yang pernah ada di masa lalu. Dan, mungkin juga kebetulan, kumpulan puisi tersebut ditulis seorang penyair yang sudah puluhan tahun jazadnya menyatu dengan tanah. Andi Matahari Remmang Rilangi, meninggal di kampung halamannya, 1999. Sebelum menutup matanya yang terakhir, dia sempat menuliskan hasrat hidupnya, yaitu:
“Hidupku penuh harap
Juga kepada
manisku
Tapi ketahuilah
Hidup itu berkisah
Bicara di bawah
takdir ” (1998)
Dan benar, hidup penyair ini berkisah. Walaupun pada akhirnya, kisah itu harus berakhir di bawah kendali takdir-Nya.
2. Membincang Judul
“Abu-abu”
Tiga pembicara yang telah tampil di forum diskusi, yaitu: M. Hamdar Arraiyyah (seorang profesor ahli di bidang penelitian agama), Muhammad Amir Jaya (penulis cerpen) dan Ishakim (seniman lukis). Ketiga pembahas ini sepaham bahwa penulis buku “Gumpalan Ditegak Tulang Terhempas di Landasan Pulau”, karya Andi Matahari Remmang Rilangi, adalah karya sastra yang mengusung pesan-pesan keruhanian yang tentu mengandung manfaat bagi pencerahan batin pembaca. Karena itu, Hamdar Arraiyyah dan Muhammad Amir Jaya cenderung menelisik sisi religius di balik diksi-diksi puisi tersebut.
Agak berbeda dengan pembicara Ishakim. Dia tidak menuangkan gagasan interpretatifnya atas moral puisi itu, tetapi lebih jauh mengurai kekuatan dan kelemahan semiotika yang ada di rimbun diksi-diksi itu.
Ada satu problema sastra yang tidak tersembunyi dari balik judul buku kumpulan puisi tersebut. Dan ini tidak digali secara mendalam oleh ketiga pembicara. Kalimat panjang pada judul buku itu terkesan “abu-abu” sehingga timbul kebingungan di hati peserta forum. Sebenarnya semua pembicara sempat menyentuh makna semiotik di balik judul itu, namun kurang apresiatif dan masih menyimpan beban di benak pembaca.
Taruhlah misalnya, Prof. Hamdar mengatakan bahwa makna judul “Gumpalan Ditegak Tulang” menyiratkan arti personifikatif seorang manusia yang tegar. Akan tetapi pengertian tersebut sangat kontra produktif dengan frasa berikutnya yakni “Terhempas di Landasan Pulau”.
Melalui WA, penulis Sanjak Mangkasarak, Syahril Daeng Nassa ketika saya mintai tanggapan, menulis begini:
“Gumpalan Ditegak Tulang, menurut Prof. Hamdar adalah tubuh (gumpalan daging yang membungkus tulang) sehingga mampu berdiri tegak. Tapi saya bingung, apa kaitannya dengan kalimat terhempas di landasan pulau? Mungkin inilah yang disebut puisi kamar. Puisi yang hanya Tuhan dan penulisnya memahami maknanya.”
Hal serupa dirasakan pula oleh Suparman Sopu, budayawan asal Sulbar. Dia katakan :
“Terus terang,
saya tidak mampu mencari makna semiosis atas judul buku itu. Terlalu panjang dan gelap bagi saya”.
Sementara itu, M. Amir Jaya, selaku pembicara sedikit terbata-bata menyatakan bahwa
judul ini diambil dari salah satu baris puisi “Aku”. Daging yang membalut tulang pada akhirnya akan terbaring kaku di liang kubur.
“Barangkali begitu maksud penyairnya.Tapi kayaknya kalimat ‘terhempas di landasan pulau’ hanyalah tambahan yang mungkin salah ketik di penerbit”, kata Amir Jaya.
Menjawab konfirmasi saya melalui WA, Yudhistira Sukatanya meluruskan hal itu. Dia menulis bahwa
pertanyaan tentang judul sempat mencuat di forum.
“Judul itu memang pilihan penyairnya sendiri, sebagaimana yang tertulis tangan di kertas halaman depan lembar kumpulan puisi yang masih ketikan biasa”, jelasnya, seraya mengakui bahwa
bayang bayang diksi ala Chairil Anwar hadir di puisi -puisi tersebut.
3. Prasasti dan
Ladang Pahala
Seperti yang saya katakan di atas bahwa ittikad forum membicarakan puisi tersebut adalah untuk menghidupkan ruh perpuisian di masa lalu. Dan itu dilakukan terhadap Kumpulan Puisi Almarhum Andi Matahari Remmang Rilangi. Buku itu, boleh disebut kekayaan sangat berharga di kalangan keluarga penyair saat ini.
Ishakim, sebagai pembicara di forum itu, bahkan menyatakan bahwa buku puisi ini sudah menjadi prasasti bagi almarhum penyair. Bahkan, spirit dalam puisi tersebut bisa menjadi ladang pahala, minimal buat anak cucu. Oleh Ishakim, puisi-puisi di buku itu sangat dipengaruhi warna era Pujangga Baru. Penggunaan preposisi terlalu dominan dan perlu ditinjau ulang.
“Andaikan penyair masih hidup, saya yakin dia akan merevisi beberapa karyanya di buku ini,” tegasnya.
Terlepas dari berbagai kekuatan dan kelemahan puisi-puisi dalam antologi tersebut, tentu kita sepakat bahwa karya itu telah menjadi monumen kebanggaan kita semua. Betul, ia prasasti yang mengingatkan kita pada sosok penyair yang pernah hidup di masa lalu. Bukan sekadar hidup, melainkan ia telah membuka lahan amaliah berupa pesan-pesan ruhani yang memercikkan pahala bagi dimensi keyakinan religius anak-anaknya.
Lanjut ke Halaman Berikutnya….
Discussion about this post